Gambar ini menunjukkan bagaimana pengemudi menghadapi tantangan parkir akibat kebijakan 'rute aman', yang menyoroti ketegangan antara keberlanjutan dan kebutuhan akan parkir yang mudah diakses.
Mari kita mendesak para pemilih untuk memaksa pemerintah kota memulihkan semua ruang parkir yang telah dibongkar selama 20 tahun terakhir, membangun struktur parkir bertingkat, dan mewajibkan semua pembangunan baru untuk mencakup ruang parkir.
Pengarang: Marvin Ramirez
Pada tahun 2025 akan terjadi perubahan besar dalam kebijakan transportasi perkotaan, dengan banyak kota yang berfokus pada perluasan langkah-langkah “rute aman”. Kebijakan ini memprioritaskan pejalan kaki dan pengendara sepeda dengan membatasi lalu lintas kendaraan, menambah jalur sepeda, dan menetapkan zona pejalan kaki. Meskipun perubahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan pada mobil dan mendorong mobilitas berkelanjutan, perubahan ini juga menciptakan tantangan bagi pengemudi, terutama mereka yang mengandalkan kendaraan untuk aktivitas sehari-hari. Pembatasan parkir merupakan bagian penting dari proyek ini dan diperkirakan akan berdampak pada warga dan dunia usaha, sehingga memaksa mereka menghadapi situasi parkir yang semakin kompleks.
Masalah utamanya adalah meningkatnya pembatasan parkir. Ketika kota-kota mengurangi penggunaan mobil, mereka sering kali menghilangkan tempat parkir untuk membuat jalur sepeda atau memperlebar trotoar. Hal ini memberikan beban pada warga, terutama di komunitas dimana tempat parkir sudah terbatas dan masyarakat bergantung pada mobil mereka untuk pulang kerja, pulang kerja, menjalankan tugas dan membuat janji. Hilangnya tempat parkir berdampak besar pada mereka yang tidak memiliki transportasi umum yang dapat diandalkan atau tidak mampu membeli alternatif lain seperti taksi atau layanan ride-sharing.
Yang memperburuk masalah adalah banyaknya tindakan “rute aman” yang tidak memberikan pilihan parkir yang memadai. Jalur sepeda dan kawasan pejalan kaki seringkali diterapkan tanpa memperhitungkan kebutuhan sehari-hari warga. Hal ini menyebabkan rasa terasing dan frustrasi di kalangan pengemudi, yang terpaksa parkir jauh dari rumah atau tempat usaha mereka, terkadang di daerah dengan jumlah korban jiwa yang tinggi atau ruang yang tidak mencukupi. Kurangnya koordinasi antara perencana kota dan penduduk yang bergantung pada mobil menciptakan konflik antara pembangunan berkelanjutan dan kebutuhan perkotaan yang sebenarnya.
Menerapkan denda parkir yang lebih tinggi untuk pelanggaran di area terlarang hanya akan menambah ketidakpuasan. Ketika parkir menjadi lebih ketat, banyak pengendara berisiko terkena denda atau menghabiskan waktu lama mencari tempat yang tersedia. Di daerah dengan kebutuhan parkir yang tinggi, hal ini menjadi masalah sehari-hari. Bisnis lokal yang mengandalkan lalu lintas pejalan kaki juga terkena dampaknya karena pelanggan kesulitan mendapatkan tempat parkir, yang menyebabkan berkurangnya aktivitas ekonomi dan semakin membuat frustrasi warga dan pemilik bisnis.
Salah satu cara untuk memitigasi tantangan-tantangan ini adalah dengan meminta pemerintah daerah memikirkan kembali pendekatan “rute aman” mereka. Penghapusan tempat parkir harus dibarengi dengan solusi alternatif yang memungkinkan pengemudi mengakses rumah dan tempat bisnis mereka dengan mudah. Salah satu pilihannya adalah dengan menciptakan struktur parkir bertingkat atau memperkenalkan sistem manajemen parkir yang lebih efisien untuk mengalokasikan ruang parkir dengan lebih baik. Pemerintah daerah juga dapat bekerja sama dengan dunia usaha dan penduduk untuk mengidentifikasi ruang yang dapat digunakan bersama atau digunakan kembali untuk parkir tanpa mengurangi tujuan inisiatif Rute Aman.
Jika perubahan ini tidak dilakukan secara sukarela oleh pemerintah kota, penghapusan lahan parkir dan dampak negatif dari kebijakan ini dapat menjadi masalah mendesak yang memerlukan tanggapan masyarakat yang lebih luas. Jika tren yang ada saat ini terus berlanjut tanpa memperhatikan kebutuhan sehari-hari masyarakat, pemungutan suara di seluruh kota mungkin diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Langkah ini memerlukan pemulihan lahan parkir yang telah dibongkar dan pendekatan yang lebih seimbang untuk memastikan transportasi umum dan tempat parkir dapat diakses oleh semua penduduk, apa pun moda transportasi yang mereka pilih. Pemungutan suara publik memungkinkan masyarakat untuk menentukan masa depan kebijakan transportasi dan parkir perkotaan, sehingga memastikan bahwa tindakan pemerintah daerah adalah demi kepentingan mereka yang paling terkena dampak.
Meskipun langkah-langkah “rute aman” merupakan langkah menuju kota yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan, langkah-langkah tersebut tidak boleh mengorbankan penduduk yang bergantung pada mobil. Sebagaimana direncanakan oleh kota-kota pada tahun 2025, langkah-langkah ini harus mempertimbangkan realitas kehidupan perkotaan, termasuk kebutuhan akan ruang parkir yang mudah diakses dan memadai. Kota harus mencapai keseimbangan antara mendorong mobilitas berkelanjutan dan memenuhi kebutuhan nyata para pengemudi. Jika penghapusan lahan parkir terus tidak terkendali, solusinya mungkin ada di tangan pemilih. Dengan memasukkan isu ini ke dalam jajak pendapat, kota dapat memastikan bahwa semua penduduk mempunyai hak suara dalam membentuk komunitas mereka, memastikan mobilitas perkotaan yang adil dan seimbang.